In the Search of My Baby’s Nanny -part 2-

Mertua saya seorang guru. Jam 6 pagi sampe jam 3 sore sudah pasti di sekolah. Ada juga Om Nanang dan Tante Maya, namun pekerjaannya wirausaha roti jadi ngga mungkin dititipin adek Salman.

Satu satunya orang yang ada di pikiran saya adalah mama saya. Kebetulan mama ngga bekerja kantoran jadi waktunya fleksibel. Masih ada hari rabu, kamis dan jumat dimana adek ngga ada yang menjaga. 

Malam itu juga saya telpon mama saya, minta tolong agar menjaga adek di Sidoarjo selama 3 hari saja. Namun abi saya tidak mengijinkan, dan memberikan solusi agar adek dibawa ke Lumajang saja diasuh mama disana, sembari menunggu ketersediaan pengasuh. Namun suami tidak setuju. Sebenarnya solusi itu diberikan agar abi ngga ditinggal terus oleh mama. Baru minggu yang lalu mama menginap bersama teman gengs nya ke Bali, minggu  sebelumnya main ke Pasuruan. -Masa minggu ini mau ditinggal lagi. Kan kangeen. Huufft- Mungkin begitu isi pikiran abi saya hehee.

Namun dengan segala jurus rayuan anak ke bapaknya dengan memelas, akhirnya abi mengizinkan. Alhamdulillah satu masalah beres, dalam 3 hari kedepan dek Salman ada yang menjaga. Kurang satu masalah yaitu siapa yang akan menjaga di minggu minggu selanjutnya?

Saya sudah pernah menggunakan Day Care selama 5 hari di Malang, dan bagi saya Day Care adalah pilihan terakhir jika sudah tidak bisa mendapatkan pengasuh. Pertama, pengasuh fokus untuk mengasuh hanya bayi saya sedangkan di Day Care satu pengasuh minimal mengasuh 3-4 bayi. Kedua, Day Care rentan menjadi tempat penyebaran virus. Satu anak terkena flu, satu Day Care kemungkinan tertular menjadi tinggi. Ketiga, saya harus bangun jauh lebih pagi untuk memandikan bayi terlebih dahulu, lalu mengantarkan ke Day Care dan melanjutkan perjalanan Sidoarjo-Surabaya. Keempat, Day Care memang memiliki kurikulum dan sistem pembelajaran yang lebih jelas karena mereka profesional, namun saya menyiasati dengan mencari pengasuh yang dedicated untuk mengasuh anak saja, tanpa mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain sehingga pengasuh bisa mengajak bermain anak.

Ibu mertua memberikan informasi bahwa di sekitar sekolah tempat beliau mengajar ada Day Care Islami. Tempatnya bagus, kurikulumnya bagus dan harganya cukup bagus. Namun ternyata rasio antara pengasuh dan muridnya sangat tinggi. Satu orang ustadzah mengasuh 6-7 orang bayi. Bisa bisa anak saya ngga kepegang tuh. 

Mbak Pah berinisiatif memberikan solusi. Beliau mencari temannya yang dulu juga pernah mengasuh bayi, namun masih gagal karena ternyata temannya sudah bekerja di tempat lain.

Om Nanang sangat membantu kami mencarikan solusinya. Om langsung langsung survey di sekitaran kompleksnya. Kebetulan di sekitar kompleksnya banyak ibu ibu janda yang stay di rumah. Infonya ada seorang ibu yang mau menjaga adek, tapi adek harus diantarkan ke rumah beliau, dan beliau masih nyambi menjahit. Waah wassalam dah.

Cara pertama gagal, Om mencoba mendatangi sebuah kampung di Ental Sewu dan menanyakan langsung ke warga sekitar apakah ada yang berminat mengasuh bayi. Dan lagi-lagi effortnya tidak membuahkan hasil.

Setiap malam saya juga mencoba survey ke tempat Day Care di sekitar Pondok Jati, namun ternyata mayoritas untuk bayi berusia 6 bulan lebih, sedangkan dek Salman masih berusia 3 bulan saat itu.

Ada pula Day Care milik saudara dari teman saya. Sudah sreg dengan orang dan sistem pendidikannya, tapi sayang sekali tempatnya cukup jauh dari rumah saya. 

Sungguh, saya merasa gagal menjadi Ibu. Saya sudah memutuskan menikah, sudah diberikan kepercayaan mendapatkan keturunan, dan sekarang bayi saya tidak ada yang menjaga dikarenakan saya tidak berani meninggalkan pekerjaan saya. 

Dalam sujud sholat Dhuhur itu saya menangis di mushola kantor. Terus berdoa meminta pertolongan gusti Allah. “Ya Allah saya tahu mungkin sekarang mencari pengasuh terlihat mustahil karena semua usaha belum membuahkan hasil, tapi saya percaya dengan pertolongan-Mu tidak ada yang tidak mungkin.”

Sore itu hari Minggu, kami dalam perjalanan Lumajang-Sidoarjo setelah mengantarkan mama ke rumah. Dalam pemikiran kami sudah bulat mulai Senin akan mengantarkan adek ke Day Care yang cukup jauh dari rumah. Tiba-tiba hape suami berbunyi, ada teman dari temannya Mbak Ma yang membutuhkan pekerjaan dan mau mengasuh bayi. Mbak Ma sendiri adalah orang yang dulu pernah menyetrika di rumah Ibu. Alhamdulillah ada titik terang.

Tanpa menunda nunda, malam itu Mbak Ma ke rumah dengan calon pengasuh adek. Namanya Mbak Ti. Orang Bugis asli. Baru saja pindah ke Sidoarjo karena dia cerai dan keluarga Ibunya ada di Sidoarjo. Umurnya baru kepala 4. Mukanya bersih seperti muka perawatan. Namun suaranya kencang dan menggebu gebu.

Dengan interview sebentar, saya langsung membeberkan jobdesk jika Mbak Ti berkenan kerja dengan kami. Fokusnya adalah mengasuh adek, mencuci baju hanya milik adek, dan membersihkan rumah saya hanya satu kali dalam satu minggu. Kerjanya hanya di hari Senin sampai Jumat dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore. Sabtu, minggu dan tanggal merah tetap libur tanpa potong gaji. Selama orang tuanya ngga kerja, anak akan kami asuh sendiri. 

Alhamdulillah Mbak Ti berkenan dengan pekerjaannya dan akan mulai bekerja keesokan pagi. Untuk itu saya meminta Mbak Ti untuk menggendong adek untuk pertama kali.

Adek tidak pernah ada masalah saat digendong orang baru termasuk saat pertama kali digendong Mbak Anis dan Mbak Pah. Namun kali ini dia langsung menangis kencang saat digendong Mbak Ti. Mungkin efek dari suara kencangnya Mbak Ti dan gaya menimang Mbak Ti yang ngga santai. Mirip seperti orang yang mengeluarkan saus sambal dari botolnya dengan posisi vertikal di Pizza Hut, heboh.

Hari pertama Mbak Ti bekerja, adek dijemput di rumah jam 6 pagi. Kemudian dibawa menggunakan stroller ke rumah mertua yang hanya beda satu gang. Di rumah mertua masih ada eyang yut yang standby untuk mengawasi pengasuhan adek. Meskipun sudah berumur 80 tahun namun eyang yut masih tegas, tidak pikun dan tidak budhek. Semoga beliau diberikan kesehatan terus, aamiin.

Saya merasa was was di hari itu mengingat kemarin saat adek digendong Mbak Ti, adek menangis kencang sekali.  Namun alhamdulillah ketika malamnya saya tanya ke eyang, adek sudah terbiasa. Dan Mbak Ti juga sudah menurunkan volumenya. Sepertinya karena sungkan dengan cara berbicara eyang dan ibu mertua yang memang lembut. -manusia dibekali ilmu adaptasi-

Dan sekarang sudah 5 bulan Mbak Ti mengasuh adek. Alhamdulillah cocok. Enaknya punya pengasuh yang juga punya anak adalah pengalamannya sudah banyak sehingga bisa saya mintai pendapat. Sudah 2 bulan ini Mbak Ti membawa Sauzan dalam bekerja dan saya malah senang karena adek ada teman untuk bersosialisasi. Siapa Sauzan? Kapan kapan akan saya ceritakan hehhee.. Semoga bisa lanjut sampe mengasuh adek-adeknya dek Salman yaa Mbak Ti.. 😊😊


-Mbak Ti dan dek Salman yang berumur 5 bulan-

0 komentar:

Posting Komentar