Beberapa hari ini Indonesia sedang mengalami euforia Asian Games 2018 dimana Indonesia menjadi tuan rumahnya. Sudah hari ke-11 event berlangsung, Indonesia telah mendapatkan 24 medali emas, 19 perak dan 29 perunggu. Raihan ini jauh melampaui target yang dicanangkan pemerintah yaitu 16 medali emas. Hampir setiap ada waktu, keluarga saya menyempatkan menonton pertandingan. Terakhir yang kami tonton adalah speed relay putri dan putra dimana di kedua cabang itu Indonesia mendapatkan medali emas. Saat prosesi penyerahan medali, para atlet tidak dapat menyembunyikan tangis harunya saat memberikan sikap hormat sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya dan melihat bendera Indonesia berada di posisi yang paling tinggi. Kami sekeluargapun ikut merasa haru, khususnya saya yang memang cengeng dan ngga bisa lihat orang nangis. Saya yang bukan siapa-siapanya dia aja ikut bangga, apalagi ibu dan ayah dari para atlet tersebut. Mungkin sekarang ibunya sedang tasyakuran di rumahnya. Atau mungkin tasyakurannya masih di-pending, menunggu bonus 1.5 Miliar dari pemerintah cair. Hehhee. However, rasa bangga ini membawa suami nyeletuk “Nanti Dek Salman jadi atlet juga ya Dek? Nanti namanya Adek disebut saat pengumuman pemenang medali emas ya. Bikin bangga Indonesia.” Sontak saya langsung menolak. Bikin bangga Indonesia saya sangat setuju, tapi ngga untuk menjadi atlet.
Call me old fashioned. Tapi saya berpikiran menjadi atlet itu resikonya terlalu tinggi. Bayangkan kita menginvestasikan waktu, pikiran dan tenaga kita untuk skill fisik. Let’s get real. Fisik ngga akan selamanya prima. Lihat saja atlet yang sudah memasuki usia 30an, stamina mulai berkurang dan akan tergeser oleh penerusnya yang masih berusia 20an. Bagaimana dengan kemungkinan cedera? Sekali cedera serius, masa depan atlet dipertaruhkan. Mungkin saat seorang atlet bisa mendapatkan medali emas, pemerintah/lembaga/perseorangan akan memberikan bonus milyaran. Tapi jika mental atlet tak terbiasa dengan “uang kaget” seperti ini, berapa banyak atlet yang hidup susah ketika sudah tak produktif lagi? Harus dipastikan jika memang ada keinginan untuk menjadi atlet, skill fisik memang sangat penting namun pendidikan karakter dan mental jangan pernah dikesampingkan.
Salah satu contoh atlet yang berhasil adalah Taufik Hidayat yang ganteng. Dia adalah legenda bulu tangkis Indonesia. Memutuskan gantung raket pada pertengahan 2013 di usianya yang ke-32. Memiliki gelanggang bulutangkis bertaraf internasional. Taufik Hidayat Arena adalah satu satunya arena bulu tangkis di dunia yang dimiliki dan dikelola oleh atlet itu sendiri. Bukan hanya sebagai pemilik saham sekian persen untuk dipakai branding saja macam kue artis kekinian itu. Mengelola sebuah bisnis yang besar dan memiliki banyak karyawan tentu ngga bisa sembarangan dan pasti membutuhkan skill khusus yang tidak berhubungan dengan fisik.
Namun saya pribadi cukup salut dengan pemerintahan saat ini. Pemerintah lebih memberikan atensi kepada masa depan atlet berprestasi. Repeat BERPRESTASI. Saat ini sudah ada PNS formasi khusus yang terdiri dari atlet berprestasi di kancah internasional. Total ada 137 atlet yang salah satunya adalah bintang baru bulutangkis Indonesia, Jonatan Christie. Dia sudah diangkat menjadi PNS sejak Januari 2018 lalu. Dengan adanya kebijakan ini, sudah dipastikan tidak akan ada lagi atlet peraih medali emas yang menjual medalinya untuk biaya hidup di masa tuanya. Mohon diingat, jangan sampai cedera sebelum menorehkan prestasi internasional ya.
Suratan takdir manusia sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Tapi sebagai orang tua, saya tetep tidak akan mengarahkan anak saya menjadi atlet karena harga yang dibayarkan terlalu mahal. Nevertheless, saya hanyalah seorang ibu yang menginginkan kebahagiaan dan keberkahan untuk anaknya :)
0 komentar:
Posting Komentar